Minggu, 20 November 2016

Syaikh Muhammad bin Ali Basalamah Brebes, Kata-katanya Menjadi Doa

Syaikh Muhammad bin Ali Basalamah meninggal pada Ahad (9/2/2014) dini hari. Dia adalah ulama sepuh yang juga dituakan oleh sesamanya. Seorang Muqaddam Tijaniyah yang sepajang hidupnya lebih banyak untuk mengajar dan menasehati umat.
     
      Pada peringatan haul ke-37 Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah, 24 Mei 2015,diperingati juga haul pertama Syaikh Muhammad bin Ali Basalamah, anak satu-satunya Syaikh Ali Basalamah. Muqaddam Tijaniyah ini meninggal ahad, 9/2/2014 dini hari. Syaikh Muhammad sekaligus pelanjut dakwah Syaikh Ali Basalamah.
      Terkenang bebertapa tahun lalu saya pertama bertemu dengan seorang tua yang berwajah lembut, banyak senyum, dengan suara lirih, dan perkataan yang bermakna. Langsung saya cium tangannya sebagai tanda takzim saya kepadanya. Syaikh Muhammad selalu bertanya, baik, sehat, lancar? Dan perkataan baik lain yang saya anggap itu sebagai doa.
      Perkenalan saya dengan Syaikh Muhammad karena saya lebih dahulu kenal dengan anaknya, yaitu Syaikh Soleh bin Muhammad Basalamah, pengasuh PP Darussalam Jatibarang Brebes Jawa Tengah. Ketika meliput suatu acara pengajian di Brebes, hadir pula Syaikh Muhammad untuk memberikan doa. Selanjutnya kami akrab, sebab saya sering meliput kalau Syaikh Muhammad mengadakan pengajian Senin Pon, yaitu pengajian keliling di desa-desa Kabupaten Brebes dan Tegal. Pengajian ini peninggal Syaikh Ali Basalamah. Dalam pengajian itu sering hadir para ulama besar dari luar negeri, seperti dari Maroko, Sudan, Aljazair, dan Mauratania. 
Bersama para ulama.

      Ketika meninggal saya berada di kota Palu, Sulawesi Tengah, dan tentu saja tidak bisa melayat langsung. Saya menyempatkan diri untuk datang ke rumahnya Jalan Jatibarang Lor No 32 RT 05 RW 11 kelurahan Jatibarang, pada hari ketujuh tahlilannya. Pada hari itu hadir Sidi Muhammad Al-Habib Al-Zakkani dari Maroko, Dr Ilyas alumni universitas dari Maroko dan tinggal di Jakarta, Syaikh Ibahim Basyaiban dari Surabaya, para habaib dan muqaddam Tijaniyah serta alim ulama dan umat Islam di berbagai kota di Brebes dan Tegal.
      Siddi Muhammad Al-Habib Al-Zakkani, asisten pribadi Sidi Muhammad Al-Kabir, Khalifah Tijaniyah tertinggi di Maroko yang juga keturunan langsung Syaikh Ahmad Tijani; hadir langsung dari Maroko karena dikabari meninggalnya Syaikh Muhammad. Dia mengatakan bahwa Syaikh Muhammad adalah seorang muqaddam yang alim dan sangat ikhlas dalam membiming umat kepada ajaran Islam. Dia adalah seorang yang sangat bertakwa kepada Allah dan sangat mencintai Rasulullah SAW.
      Sementara Ustadz Anis, anak bungsu lelakinya, menuturkan detik-detik kematian Syaikh Muhammad. Abahnya memang sudah lemah selama tiga bulan. Dia hanya tinggal di kamar saja, tetapi secara fisik, dokter tidak menemukan penyakitnya yang parah. Pada hari Ahad dini hari, bergantian anak-anaknya berjaga. Pada pukul 12.30 almaghfurlah minta Ustadz Anis membimbingnya  ke kamar mandi untuk berwudhu, sedang selama ini dia hanya sekadar tayamun saja. Ustadz Anis kemudian tidur. Tak lama kemudian, kerabat yang lain mendapati pada pukul 01.00, dia berkali kali seperti berteriak membaca tahlil: “La illaha illallah…..” Pada pukul 02.00, Ustadz Anis dibangunkan ketika dilihatnya almaghfurlah  tidur miring dengan mendekap guling dan dalam keadaan diam. Setelah dicek denyut nadi di tangan serta di leher, juga hembusan angin di hidungnya sudah tidak ada, maka keluarga yakin Syaikh Muhammad  sudah meninggal. Jadi Syaikh Muhammad meninggal dalam keadaan tenang, setelah mengucap syahadat, tidak menyusahkan keluarga. Syaikh Soleh sendiri baru dalam perjalanan dari Bandung ke Brebes, dan tidak sempat menyaksikan kejadian itu. “Karena dia tidak menyangka ayahnya meninggal dengan cepat, sebab tidak ada serangan penyakit atau gejala gawat lainnya,” katanya kepada saya, lain waktu.
Bersama para habaib.

      Hari Ahad istimewa bagi kehidupan keluarga Basalamah, sebab selain Syaikh Muhammad meninggal pada hari Ahad, tiga bulan sebelumnya, istrinya, Hj Latifah binti Abubakar Basalamah   juga meningga pada hari Ahad. Sebelumnya, Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah dan Hajah Maimunah, kedua orang tua Syaikh Muhammad, juga meninggal pada hari Ahad. Begitu juga Majelis Pengajian Keluarga Basalamah ini diselenggarakan pada hari Ahad. Allah SWT telah memilih hari yang sama kepada hari kematian mereka.
      Ketika jenazah Syaikh Muhammad dibawa ke kuburan di kawasan Jatibarang, ribuan orang menshalatkanjenazah secara bergantian, pertama di rumah, kemudian di Masjid Jamik Ittihad, dilanjutkan ke Masjid Mujahidin, dan baru kemudian mengantar ke makbarah Pemakaman Umum Jatibarang. Syaikh Muhammad dikuburkan berdampingan dengan kubur Syaikh Ali, abahnya.
      Saya teringat dengan kisah hidup Syaikh Muhammad Basalamah ketika saya wawancarai pada tahun 2006 yang lalu, almaghfurlah menuturkan sewaktu Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah, sebagai Muqaddam Tariqah Tijaniyah di Jatibarang, meninggal pada 31 Maret 1979, ribuan murid yang menjadi pengikut tarekat ini kebingungan. Siapa penggantinya? Syaikh Ali hanya memiliki seorang anak semata wayang, Muhammad, yang kini menjadi pedagang kelontong, dan mereka tidak tahu, di mana sang anak ini belajar agama. Namun karena hasrat untuk mendapat pemimpin baru sangat tinggi, maka Muhammad yang waktu itu masih berumur tigapuluhan didaulat untuk meneruskan pengajian almarhum Syaikh Ali.
Mengantar jenazah ke kuburan.

     “Banyak orang yang tidak tahu sebenarnya saya senantiasa mengaji kepada Abah (Syaikh Ali), sehingga mendapatkan ilmu seperti sekarang. Ditambah lagi ijazah dari berbagai ulama kondang, seperti Habib Alwi bin Hasan Alkaff di Tegal dan Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani,” ujarnya kepada saya waktu itu di rumahnya.
      Muhammad muda mengikuti prinsip abahnya. Yaitu kalau ada banyak kiai atau ulama berkumpul dalam majelis, maka berikanlah kesempatan kepada mereka lebih dahulu untuk membacakan kitab atau memberikan taushiyah. Sedang sebagai tuan rumah, cukuplah hanya memberikan penutup atau pembacakan doa. “Saya memang awalnya agak grogi, tetapi dengan cara begitu, maka selamatlah penampilan pertama saya. Selanjutnya, sudah biasa dan kayaknya hadirin bisa menerima cara saya,” tuturnya.
      Syaikh Muhammad berkisah lagi, “Saya ketika remaja mengkaji kepada Habib Alwi bin Hasan Alkaff di Tegal. Saya khatam beberapa kitab kuning, seperti Arbain Nawawi, dan lainnya. Sedang bakda Maghrib saya membaca Al-Qur’an dan hizb. Abah saya selalu mengecek kemajuan pelajaran saya, setengah bulan sekali. Namun ketika tentara Jepang menduduki Pulau Jawa pada tahun 1942, pelajaran saya agak kacau, karena saya harus mengungsi ke lain tempat, yaitu ke Jatibarang, Brebes. Karena itulah, Abah yang melanjutkan mengajar saya secara privat. “Jadi pengetahuan agama yang saya peroleh sekitar 80 persen dari Abah.” 
Dikubur di Pemakaman Jatibarang.

      Pada waktu Syaikh Ali masih hidup, memang semua ta’lim maupun pelajaran tarekat semua ditangani sendiri olehnya. Sedang Muhammad, sebagai anak tunggal, mencari kehidupan dengan jalan membuka toko kelontong di jalan raya Jatibarang. Meski begitu, Syaikh Ali masih berpesan kepadanya, “Kowe sing kentheng le mu ngaji, (Kamu supaya tekun belajar mengaji).”  Pesan itu diingat betul, sehingga di sela berdagang, dia masih menyempatkan diri membuka kitab kuning atau datang ke rumah abahnya untuk belajar privat.
      Syaikh Muhammad sudah mengajar kepada para murid selama 35 tahun (1979-2014). Dia lahir pada tahun 1926 (menurut catatan KTP), jadi usianya 88 tahun. Namun menurut versi Syaikh Muhamamd kepada saya, dia mengatakan, “Pada waktu itu belum ada catatan tanggal dan bulannya; dalam catatan Abah, saya lahir hari Senin pada tahun 1930,” jelasnya. (Wallahua’lam).
       “Setelah saya menikah, saya membuka tiga toko (letaknya sekarang disebut Jalan Syaikh Ali Basalamah Jatibarang) secara berderet, yang pertama toko kelontong, yang kedua toko sarung Samarinda, saya beli dari Surabaya karena murah; kemudian yang ketiga toko minyak wangi. Karena itulah toko saya saya beri nama toko “Sumber Wangi”. Selain usaha membuka toko, saya juga usaha menanam tebu dan padi. Hasilnya lumayan, sebab di Jatibarang ada pabrik tebu, jadi hampir sebagian besar menanam tebu. Sekarang karena pabriknya kurang produktif, maka petani beralih menanam bawang merah. Jadilah Brebes kini terkenal sebagai produsen bawang merah di Jawa Tengah.
Syaikh Muhammad Basalamah

      Perkawinan saya dengan Latifah binti Abubakar Basalamah dikarunia sembilan anak, tetapi satu meninggal, sekarang tinggal delapan. Kebetulan jumlahnya sama, lelaki empat wanita empat. Anak saya: Ahmad (salah satu anaknya bernama Ali, alumni Rubath Tarim, sekarang mengajar di PP Darussalam Jatibarang),  Sholeh, Zainah (menikah dengan almarhum Habib Hasan Alatas dan anak lelakinya yang bernama Habib Ahmad bin Hasan Alatas, alumni PP Dalwa Pasuruhan, mengajar di PP Darussalam dan juga dai keliling), Umar (berdagang), Salmah (menikah dengan Abubakar bin Abdul Qadir Jawwas tinggal di Jakarta), Lutfiyah (menikah dengan Muhammad Basalamah tinggal di Tegal), Ahmad Anis (menggantikan Pengajian Ahad Pagi dan Kamis Kliwon yang diasuh Syaikh Muhammad sekaligus juga seorang muqaddam), dan yang bungsu Maryam (menikah dengan Ustad Husin Nidham bin Umar Baidhawi Basyaiban Lc, lulusan Universitas di Syria, menjadi muqaddam dan dai keliling di Surabaya). Sholeh (Syaikh Sholeh bin Muhammad Basalamah) kawin dengan Rodiyah, cucu Syaikh Umar Baradja, pengarang berbagai kitab kuning. Syaikh  Sholeh yang belajar delapan tahun kepada Abuya Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki di Makkah, mendirikan PP Darussalam Jatibarang dan menjadi muqaddam tarekat Tijaniyah di Jatibarang.”
      Syaikh Muhammad pertama kali ke Mekkah pada 1966, waktu itu masih naik kapal laut. Tepatnya pada saat turunnya Pak Karno dan naiknya Pak Harto menjadi Presiden. “Saya disarankan Abah untuk menemui guru-gurunya. Namun yang diutamakan dua saja, yaitu Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki, ayah Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Yang kedua, Sayyid Hasan bin Muhammad Fathaq.
Bersama Syaikh Soleh Basalamah di depan rumahnya.

      Saya datang ke tempat Sayyid Alwi di Masjidil Haram untuk mengikuti pengajiannya. Orangnya tinggi besar dan berkulit putih cemerlang, sungguh berwibawa. Saya mengikuti hingga selesai, dan kemudian bergilir mencium tangannya. Sampai giliran saya, beliau langsung berkata: ‘Saya mencium baru harum Nabi Yusuf.’ Kemudian beliau berkata lagi: ‘Saya mencium bau harum Syaikh Ali, apakah Anda anaknnya?’ Saya mengiyakan. Itulah kasyafnya Sayyid Alwi. Saya ingat pesan Abah supaya meminta ijazah khas dari beliau, karena itu saya minta waktu untuk bertemu. Beliau memberikan waktu bakda asyar. Ketika saya ke sana dalam waktu yang ditentukan itu, beliau langsung berkata, saya  tahu kau akan ke Madinah, karena itu sekarang juga saya berikan ijazah khas itu. Jadi kau bisa tenang ke Madinah. Setelah dari Madinah kau boleh mampir lagi, atau kalau tidak ada waktu boleh langsung pulang ke tanah airmu. Itulah kasyaf yang kedua saya saksikan pada Sayyid Alwi, sebab saya sebelumnya tidak cerita akan ke Madinah.
      Sedang pertemuan saya dengan Sayyid Hasan lain lagi. Ulama ini memiliki kedudukan terhormat dalam kerajaan Saudi. Rumahnya saja seperti istana. Salah satu anaknya, bernama Sayyid Ali,  menjadi walikota Jeddah. Anaknya yang lain, Sayyid Muhammad mengurusi Badan Perwakafan Kerajaan Saudi. Saya disuruh ngaji setiap hari Senin di rumahnya, sedang rumahnya itu dengan Masjidil Haram berjarak sekitar 15 km. Di dalam majelis ta’lim itu saya diperkenalkan kepada hadirin: “Inilah adalah anak muridku yang khas, yaitu Syaikh Ali dari Indonesia.” Kemudian saya utarakan maksud saya menemui beliau, yaitu untuk meminta ijazah. Beliau mengatakan nanti saja di Madinah. Saya bilang, Madinah jauhnya 500 km. Beliau malah bilang: saya lebih tahu dari ente. Ya sudah saya berangkat ke Madinah. 
Tahli di hari ketujuh.

       Sehari kemudian dua orang anak muda menemui saya, dan berpesan bahwa saya telah ditunggu Sayyid Hasan di Hotel Baha’uddin. Ternyata di sana, Sayyid Hasan sedang mengisi pengajian, dan yang datang para pembesar, termasuk yang punya hotel. Setelah usai pengajian, beliau menemui saya dan memberikan baju kurungnya untuk saya pakai. Anehnya, saya dengan memakai baju kurungnya itu, beliau mengajak saya menuruni tangga hotel, dan kemudian menggandeng saya untuk naik lagi. Lalu baju untuk disuruh lepas dan dipakai oleh Sayyid Hasan lagi. Beliau berkata: “Sudah cukup aku berikan ijazah kepadamu. Sekarang kau boleh mampir di Makkah lagi, atau kalau tidak bisa, langsung pulang, dan kirim salam kepada Syaikh Ali.
      Ketika saya pulang ke Jatibarang, kemudian saya ceritakan bahwa saya telah mendapatkan dua ijazah dari dua guru beliau, Abah menangis terisak-isak seperti menangisnya anak kecil. Hal itu menandakan begitu gembiranya beliau karena saya bisa memperoleh ijazah yang disarankannya.
      Waktu itu saya sudah memiliki lima orang anak, dan masih aktif dalam bisnis. Jadi masih sibuk dalam masalah duniawi. Namun Abah sudah mengatakan bahwa sudah cukup ilmu saya dengan mendapatkan dua ijazah itu.
      Sekarang saya melanjutkan pengajian Abah pada hari Ahad dengan hadirin sekitar seribu orang. Kebanyakan yang datang justru ibu-ibu, ada sekitar tujuh ratus orang. Sedang lelakinya hanya sekitar 300 orang. Saya tawarkan kepada hadirin, ingin membaca kitab apa? Maka saya persilahkan seorang kiai membaca, dan saya yang memberikan maknanya secara luas. Dulu Kiai Abud membaca Minhajul Abidin karangan Imam Ghazali, kini sudah meninggal dan digantikan oleh kiai lain dari Tegal. Yang kedua, Kiai Ihsanuddin dari Sokaraja mengaji Nashaihul Diniyah karangan Habib Abdullah Alhaddad. Yang ketiga Kiai Anshari membaca kitab Tanqihul Qaul. Yang keempat Kiai Fat’uddin dari PP Babagan Slawi membaca kitab Tanbihul Ghafilin. Kelima Kiai Ma’ruf dari Sinduyasa Tegal membaca kitab Fathul Qarib Al-Mujid. Keenam Ki Poyo dari Slawi membaca kitab Dhuratul Bahiyah. Maka kalau semua datang, maka dua jam (pukul 10.00-12.00) saya bagi enam.
      Sekarang, anak saya (Ustadz) Ahmad Anis mengajar kitab Khasyifatus Saja’, kitab fikih dasar, selama setengah jam. Dulu anak saya, (Syaikh) Sholeh, mengisi separuh dan saya separuh. Karena Sholeh sudah sibuk dengan pesantren dan ta’limnya sendiri, maka kembali ke saya lagi. Untungnya anak saya Ahmad Anis sudah bisa menggantikannya. Kemudian ada pengajian Kamis Kliwon di lapangan Jatibarang, khusus untuk membacakan biografi para nabi, auliya, dan ulama. Acara setiap pukul 10.00 sampai 12.00. Sedang pengajian keliling diselenggarakan setiap Senin Pon, sehingga berbagai desa mendapat giliran. Hadirin bisa mencapai 10 ribu orang. Satu tempat tersebut perlu memesan dulu dua hingga tiga tahun sebelumnya. Pengajian ini sudah berlangsung 20 tahun, setiap pengajian terkumpul dana shodaqah sekitar Rp 4 juta. Pengajian ini sekarang lebih banyak diisi oleh Ustadz Sholeh, sebab saya kadang-kadang tidak enak badan.
Dihadiri Sidi Muhammad Al-Habib Al-Zakkani.

      Tarekat Tijaniyah
      Syaikh Muhammad Basalamah, sebelum meninggal, dikenal sebagai Muqaddam Tarekat Tijaniyah yang paling tua di Indonesia. Kisahnya masuk Tarekat Tijaniyah bermula ketika Abahnya meninggal, empat hari kemudian, dia didatangi oleh KH Hawi dari Pesantren Buntet Cirebon. Singkatnya, dia ditalqin menjadi muqaddam tarekat Tijaniyah. Mengapa dia begitu mantap untuk menjadi pengikuti tarekat Tijaniyah, karena hal ini pernah dia pertanyakan kepada Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki. Sayyid menjawab bahwa tarekat ini baik, dan dia mengakui merupakan salah satu muqaddamnya. Karena itulah, Syaikh Muhamamd tidak ragu lagi untuk menjadi muqaddamnya.
      Syaikh Muhammad memiliki hak untuk menunjuk muqaddam. Namun menurutnya, untuk menunjuk muqaddam perlu adanya panggilan hati. “Sampai saat ini hanya Sholeh, anak saya, yang mantap saya tunjuk sebagai muqaddam. Selainnya belum ada petunjuk,” katanya. Namun ternyata, dia juga menalqin Ustadz Anis sebagai muqaddam Tijaniyah, sehingga berhak memberikan pengajian tarekat pada hari Kamis Kliwon di rumahnya.
      Di kalangan tarekat Tijaniyah di Indonesia, rumahnya sering menjadi tempat persinggahan para pemuka tarekat Tijaniyah yang berpusat di Maroko. Sebagaimana kedatangan Sayyid Jamal, dan kemudian kunjungan Syarif Muhammad Basyir bin Allal At-Tijani Al-Hasani keturunan keenam Syaikh Tijani pada tahun 2006 lalu. Beberapa tokoh Tijaniyah Indonesia sering berkumpul di Jatibarang untuk membahas perkembangan  tarekat ini di masa akan datang.
      Saiful Bahri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar