Minggu, 20 November 2016

Syaikh Sidi Ahmad Sukairij (1878-1944), Pemuka Tarekat Tijani

Syaikh Sidi Ahmad  Sukairij 


Syaikh Sidi Ahmad bin Iyas bin Abdur Rahman Sukairij Al-Khazraji Al-Anshari lahir di kota Fes-Maroko pada tahun 1295 H. Sejak kecil belajar kepada sang ayah Sidi Iyas Sukairij, karena perhatian yang begitu mendalam membuat si Ahmad kecil tumbuh dengan cerdas dan pandai. Kemudian sang Ayah mengirimnya untuk melanjutkan menimba ilmu kepada para ulama Qurawiyin-Fes, seperti: Sidi Muhammad bin Hasyim Al-Kitami (spesialis Al-Quran), Sidi Abdellah bin Idris Al-Bukrawi (pakar Hadits), Sidi Muhammad bin Muhammad Genoun, Sidi Abdullah Badrawi, Sidi Abdul Malik Alawi Ad-Dhorir, Sidi Habib bin Daoudi Al-Jazair, Sidi Ibrahim Yazidi dan lain sebagainya, disana Beliau belajar dan digembleng berbagai disiplin ilmu.
Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, yang kemudian dia berpegang teguh dengan Tarekat Tijaniyah pada tahun 1316 H, dia berguru kepada Syaikh Ahmad Abdulawi, Syaikh Sidi Muhammad [Fathan] Gannun penulis kitab “As Shawaiq al Ilahiyah ila man Ankaro al Jahra fi al Faridzoh bi al Basmalah”, Syaikh Abdul Karim Banis, dan lain-lain. 
Beliau juga banyak menelurkan buah karya ilmiah yang jumlahnya 160 lebih, di antaranya: 
Di antara kitab-kitabnya.
Ø Al Jawharu al Mandhum min Kalami al Qutbi al Maktum 
Ø Al Jawharu an Nafis fi ma istafadna min Allamah Banis 
Ø Kasyfu al Hijab an Man Talaqqa ma’a as Syaikh at Tijani min al Ashab 
Ø Kasyfu al Balwa fi Raddi al Fatwa al Mansyurah bi Majalah at Taqwa 
Ø Syibhu ar Rihlah ila al Jazair,  
Ø Kamal al Farah wa as Surur bi Maulidi Madhari an Nur 
Ø Yanbu’u as Salsali fi Ba’dhi ma Warada min al Hadits al Musalsali 
Ø Al Ijadah ala al Ifadah 
Ø Al Imdad bi Rijali al Isnad 
Ø dan lain-lainnya.
Kitab-kitabnya banyak ditahqiq oleh Prof. Dr. Radhi Genoun al-Idrisi al-Hassani asal kota Rabat. Pakar Tijani ini tidak saja mengumpulkan kitab-kitab dan memberi tahqiq, tetapi juga mengumpulkan barang-barang peningalannya, seperti kitab Al-Quran tulisan tangan, tasbih, dan jubahnya. Usaha Prof Radhi Genoun yang tidak kenal lelah itu disajikan dalam www.cheikh-skiredj.com,
"Orang yang paling alim di masa kita"

Dalam riwayat pekerjaan, Sidi Sukairij pernah menjabat sebagai Pengawas Wakaf Kerajaan di Fez (1914-1919), kemudian ditunjuk sebagai Pejabat Qadi di kota Wajda (1919-1924), Qadi di kota al-Jadida (1924-1929), dan terakhir Qadi di kota Settat (1929-1944).
Pada suatu waktu, Sultan Maroko Mawlay Abdul Hafiz, terpengaruh dengan gerakan Salafi-Wahabi yang menentang tariqah sufi, termasuk Tijaniyah. Namun, Sultan Abdul Hafidz diasingkan ke Perancis oleh Penjajah Perancis saat itu. Di pengasingan itulah, dia menyadari kekeliruannya dan memperoleh banyak pengajaran dari Mawlana Sukairij sampai akhirnya dia mengambil Baiat tariqah Tijaniyah. Mawlana Sukairij, yang dideskripsikan oleh Muhaddith Mesir, Mawlana Muhammad al-Hafidz Mishiri sebagai "Orang yang paling alim di masa kita", tak salah, karena tercatat di bukunya yang berjudul "Qadam al-Rusukh fima li-Mu’allifihi min al-Shuyukh", Mawlana Sukairij memperoleh sekitar 600 ijazah dari berbagai macam cabang ilmu agama.

Adapun di antara murid-muridnya yang kesohor di adalah: 
ü Syaikh Muhammad Hafidz Al-Misri (W. 1398 H) 
ü Sultan Moulay Abdul Hafidz Al-Alawi 
ü Syaikh Ibrahim Niyas Al-Kaulakhi-Senegal (W. 1395 H) 
ü Ahmad bin Husen Ad-Duwaironi 
ü Dan lain-lain. 

Pada tahun 1363 H., beliau mulai terserang penyakit gula, yang ujungnya dia menghadap kehadirat Yang Maha Pencipta pada hari sabtu 23 Sya’ban 1363 H. bertepatan pada 12 Agustus 1944. 

Syaikh Muhammad bin Ali Basalamah Brebes, Kata-katanya Menjadi Doa

Syaikh Muhammad bin Ali Basalamah meninggal pada Ahad (9/2/2014) dini hari. Dia adalah ulama sepuh yang juga dituakan oleh sesamanya. Seorang Muqaddam Tijaniyah yang sepajang hidupnya lebih banyak untuk mengajar dan menasehati umat.
     
      Pada peringatan haul ke-37 Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah, 24 Mei 2015,diperingati juga haul pertama Syaikh Muhammad bin Ali Basalamah, anak satu-satunya Syaikh Ali Basalamah. Muqaddam Tijaniyah ini meninggal ahad, 9/2/2014 dini hari. Syaikh Muhammad sekaligus pelanjut dakwah Syaikh Ali Basalamah.
      Terkenang bebertapa tahun lalu saya pertama bertemu dengan seorang tua yang berwajah lembut, banyak senyum, dengan suara lirih, dan perkataan yang bermakna. Langsung saya cium tangannya sebagai tanda takzim saya kepadanya. Syaikh Muhammad selalu bertanya, baik, sehat, lancar? Dan perkataan baik lain yang saya anggap itu sebagai doa.
      Perkenalan saya dengan Syaikh Muhammad karena saya lebih dahulu kenal dengan anaknya, yaitu Syaikh Soleh bin Muhammad Basalamah, pengasuh PP Darussalam Jatibarang Brebes Jawa Tengah. Ketika meliput suatu acara pengajian di Brebes, hadir pula Syaikh Muhammad untuk memberikan doa. Selanjutnya kami akrab, sebab saya sering meliput kalau Syaikh Muhammad mengadakan pengajian Senin Pon, yaitu pengajian keliling di desa-desa Kabupaten Brebes dan Tegal. Pengajian ini peninggal Syaikh Ali Basalamah. Dalam pengajian itu sering hadir para ulama besar dari luar negeri, seperti dari Maroko, Sudan, Aljazair, dan Mauratania. 
Bersama para ulama.

      Ketika meninggal saya berada di kota Palu, Sulawesi Tengah, dan tentu saja tidak bisa melayat langsung. Saya menyempatkan diri untuk datang ke rumahnya Jalan Jatibarang Lor No 32 RT 05 RW 11 kelurahan Jatibarang, pada hari ketujuh tahlilannya. Pada hari itu hadir Sidi Muhammad Al-Habib Al-Zakkani dari Maroko, Dr Ilyas alumni universitas dari Maroko dan tinggal di Jakarta, Syaikh Ibahim Basyaiban dari Surabaya, para habaib dan muqaddam Tijaniyah serta alim ulama dan umat Islam di berbagai kota di Brebes dan Tegal.
      Siddi Muhammad Al-Habib Al-Zakkani, asisten pribadi Sidi Muhammad Al-Kabir, Khalifah Tijaniyah tertinggi di Maroko yang juga keturunan langsung Syaikh Ahmad Tijani; hadir langsung dari Maroko karena dikabari meninggalnya Syaikh Muhammad. Dia mengatakan bahwa Syaikh Muhammad adalah seorang muqaddam yang alim dan sangat ikhlas dalam membiming umat kepada ajaran Islam. Dia adalah seorang yang sangat bertakwa kepada Allah dan sangat mencintai Rasulullah SAW.
      Sementara Ustadz Anis, anak bungsu lelakinya, menuturkan detik-detik kematian Syaikh Muhammad. Abahnya memang sudah lemah selama tiga bulan. Dia hanya tinggal di kamar saja, tetapi secara fisik, dokter tidak menemukan penyakitnya yang parah. Pada hari Ahad dini hari, bergantian anak-anaknya berjaga. Pada pukul 12.30 almaghfurlah minta Ustadz Anis membimbingnya  ke kamar mandi untuk berwudhu, sedang selama ini dia hanya sekadar tayamun saja. Ustadz Anis kemudian tidur. Tak lama kemudian, kerabat yang lain mendapati pada pukul 01.00, dia berkali kali seperti berteriak membaca tahlil: “La illaha illallah…..” Pada pukul 02.00, Ustadz Anis dibangunkan ketika dilihatnya almaghfurlah  tidur miring dengan mendekap guling dan dalam keadaan diam. Setelah dicek denyut nadi di tangan serta di leher, juga hembusan angin di hidungnya sudah tidak ada, maka keluarga yakin Syaikh Muhammad  sudah meninggal. Jadi Syaikh Muhammad meninggal dalam keadaan tenang, setelah mengucap syahadat, tidak menyusahkan keluarga. Syaikh Soleh sendiri baru dalam perjalanan dari Bandung ke Brebes, dan tidak sempat menyaksikan kejadian itu. “Karena dia tidak menyangka ayahnya meninggal dengan cepat, sebab tidak ada serangan penyakit atau gejala gawat lainnya,” katanya kepada saya, lain waktu.
Bersama para habaib.

      Hari Ahad istimewa bagi kehidupan keluarga Basalamah, sebab selain Syaikh Muhammad meninggal pada hari Ahad, tiga bulan sebelumnya, istrinya, Hj Latifah binti Abubakar Basalamah   juga meningga pada hari Ahad. Sebelumnya, Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah dan Hajah Maimunah, kedua orang tua Syaikh Muhammad, juga meninggal pada hari Ahad. Begitu juga Majelis Pengajian Keluarga Basalamah ini diselenggarakan pada hari Ahad. Allah SWT telah memilih hari yang sama kepada hari kematian mereka.
      Ketika jenazah Syaikh Muhammad dibawa ke kuburan di kawasan Jatibarang, ribuan orang menshalatkanjenazah secara bergantian, pertama di rumah, kemudian di Masjid Jamik Ittihad, dilanjutkan ke Masjid Mujahidin, dan baru kemudian mengantar ke makbarah Pemakaman Umum Jatibarang. Syaikh Muhammad dikuburkan berdampingan dengan kubur Syaikh Ali, abahnya.
      Saya teringat dengan kisah hidup Syaikh Muhammad Basalamah ketika saya wawancarai pada tahun 2006 yang lalu, almaghfurlah menuturkan sewaktu Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah, sebagai Muqaddam Tariqah Tijaniyah di Jatibarang, meninggal pada 31 Maret 1979, ribuan murid yang menjadi pengikut tarekat ini kebingungan. Siapa penggantinya? Syaikh Ali hanya memiliki seorang anak semata wayang, Muhammad, yang kini menjadi pedagang kelontong, dan mereka tidak tahu, di mana sang anak ini belajar agama. Namun karena hasrat untuk mendapat pemimpin baru sangat tinggi, maka Muhammad yang waktu itu masih berumur tigapuluhan didaulat untuk meneruskan pengajian almarhum Syaikh Ali.
Mengantar jenazah ke kuburan.

     “Banyak orang yang tidak tahu sebenarnya saya senantiasa mengaji kepada Abah (Syaikh Ali), sehingga mendapatkan ilmu seperti sekarang. Ditambah lagi ijazah dari berbagai ulama kondang, seperti Habib Alwi bin Hasan Alkaff di Tegal dan Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani,” ujarnya kepada saya waktu itu di rumahnya.
      Muhammad muda mengikuti prinsip abahnya. Yaitu kalau ada banyak kiai atau ulama berkumpul dalam majelis, maka berikanlah kesempatan kepada mereka lebih dahulu untuk membacakan kitab atau memberikan taushiyah. Sedang sebagai tuan rumah, cukuplah hanya memberikan penutup atau pembacakan doa. “Saya memang awalnya agak grogi, tetapi dengan cara begitu, maka selamatlah penampilan pertama saya. Selanjutnya, sudah biasa dan kayaknya hadirin bisa menerima cara saya,” tuturnya.
      Syaikh Muhammad berkisah lagi, “Saya ketika remaja mengkaji kepada Habib Alwi bin Hasan Alkaff di Tegal. Saya khatam beberapa kitab kuning, seperti Arbain Nawawi, dan lainnya. Sedang bakda Maghrib saya membaca Al-Qur’an dan hizb. Abah saya selalu mengecek kemajuan pelajaran saya, setengah bulan sekali. Namun ketika tentara Jepang menduduki Pulau Jawa pada tahun 1942, pelajaran saya agak kacau, karena saya harus mengungsi ke lain tempat, yaitu ke Jatibarang, Brebes. Karena itulah, Abah yang melanjutkan mengajar saya secara privat. “Jadi pengetahuan agama yang saya peroleh sekitar 80 persen dari Abah.” 
Dikubur di Pemakaman Jatibarang.

      Pada waktu Syaikh Ali masih hidup, memang semua ta’lim maupun pelajaran tarekat semua ditangani sendiri olehnya. Sedang Muhammad, sebagai anak tunggal, mencari kehidupan dengan jalan membuka toko kelontong di jalan raya Jatibarang. Meski begitu, Syaikh Ali masih berpesan kepadanya, “Kowe sing kentheng le mu ngaji, (Kamu supaya tekun belajar mengaji).”  Pesan itu diingat betul, sehingga di sela berdagang, dia masih menyempatkan diri membuka kitab kuning atau datang ke rumah abahnya untuk belajar privat.
      Syaikh Muhammad sudah mengajar kepada para murid selama 35 tahun (1979-2014). Dia lahir pada tahun 1926 (menurut catatan KTP), jadi usianya 88 tahun. Namun menurut versi Syaikh Muhamamd kepada saya, dia mengatakan, “Pada waktu itu belum ada catatan tanggal dan bulannya; dalam catatan Abah, saya lahir hari Senin pada tahun 1930,” jelasnya. (Wallahua’lam).
       “Setelah saya menikah, saya membuka tiga toko (letaknya sekarang disebut Jalan Syaikh Ali Basalamah Jatibarang) secara berderet, yang pertama toko kelontong, yang kedua toko sarung Samarinda, saya beli dari Surabaya karena murah; kemudian yang ketiga toko minyak wangi. Karena itulah toko saya saya beri nama toko “Sumber Wangi”. Selain usaha membuka toko, saya juga usaha menanam tebu dan padi. Hasilnya lumayan, sebab di Jatibarang ada pabrik tebu, jadi hampir sebagian besar menanam tebu. Sekarang karena pabriknya kurang produktif, maka petani beralih menanam bawang merah. Jadilah Brebes kini terkenal sebagai produsen bawang merah di Jawa Tengah.
Syaikh Muhammad Basalamah

      Perkawinan saya dengan Latifah binti Abubakar Basalamah dikarunia sembilan anak, tetapi satu meninggal, sekarang tinggal delapan. Kebetulan jumlahnya sama, lelaki empat wanita empat. Anak saya: Ahmad (salah satu anaknya bernama Ali, alumni Rubath Tarim, sekarang mengajar di PP Darussalam Jatibarang),  Sholeh, Zainah (menikah dengan almarhum Habib Hasan Alatas dan anak lelakinya yang bernama Habib Ahmad bin Hasan Alatas, alumni PP Dalwa Pasuruhan, mengajar di PP Darussalam dan juga dai keliling), Umar (berdagang), Salmah (menikah dengan Abubakar bin Abdul Qadir Jawwas tinggal di Jakarta), Lutfiyah (menikah dengan Muhammad Basalamah tinggal di Tegal), Ahmad Anis (menggantikan Pengajian Ahad Pagi dan Kamis Kliwon yang diasuh Syaikh Muhammad sekaligus juga seorang muqaddam), dan yang bungsu Maryam (menikah dengan Ustad Husin Nidham bin Umar Baidhawi Basyaiban Lc, lulusan Universitas di Syria, menjadi muqaddam dan dai keliling di Surabaya). Sholeh (Syaikh Sholeh bin Muhammad Basalamah) kawin dengan Rodiyah, cucu Syaikh Umar Baradja, pengarang berbagai kitab kuning. Syaikh  Sholeh yang belajar delapan tahun kepada Abuya Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki di Makkah, mendirikan PP Darussalam Jatibarang dan menjadi muqaddam tarekat Tijaniyah di Jatibarang.”
      Syaikh Muhammad pertama kali ke Mekkah pada 1966, waktu itu masih naik kapal laut. Tepatnya pada saat turunnya Pak Karno dan naiknya Pak Harto menjadi Presiden. “Saya disarankan Abah untuk menemui guru-gurunya. Namun yang diutamakan dua saja, yaitu Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki, ayah Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Yang kedua, Sayyid Hasan bin Muhammad Fathaq.
Bersama Syaikh Soleh Basalamah di depan rumahnya.

      Saya datang ke tempat Sayyid Alwi di Masjidil Haram untuk mengikuti pengajiannya. Orangnya tinggi besar dan berkulit putih cemerlang, sungguh berwibawa. Saya mengikuti hingga selesai, dan kemudian bergilir mencium tangannya. Sampai giliran saya, beliau langsung berkata: ‘Saya mencium baru harum Nabi Yusuf.’ Kemudian beliau berkata lagi: ‘Saya mencium bau harum Syaikh Ali, apakah Anda anaknnya?’ Saya mengiyakan. Itulah kasyafnya Sayyid Alwi. Saya ingat pesan Abah supaya meminta ijazah khas dari beliau, karena itu saya minta waktu untuk bertemu. Beliau memberikan waktu bakda asyar. Ketika saya ke sana dalam waktu yang ditentukan itu, beliau langsung berkata, saya  tahu kau akan ke Madinah, karena itu sekarang juga saya berikan ijazah khas itu. Jadi kau bisa tenang ke Madinah. Setelah dari Madinah kau boleh mampir lagi, atau kalau tidak ada waktu boleh langsung pulang ke tanah airmu. Itulah kasyaf yang kedua saya saksikan pada Sayyid Alwi, sebab saya sebelumnya tidak cerita akan ke Madinah.
      Sedang pertemuan saya dengan Sayyid Hasan lain lagi. Ulama ini memiliki kedudukan terhormat dalam kerajaan Saudi. Rumahnya saja seperti istana. Salah satu anaknya, bernama Sayyid Ali,  menjadi walikota Jeddah. Anaknya yang lain, Sayyid Muhammad mengurusi Badan Perwakafan Kerajaan Saudi. Saya disuruh ngaji setiap hari Senin di rumahnya, sedang rumahnya itu dengan Masjidil Haram berjarak sekitar 15 km. Di dalam majelis ta’lim itu saya diperkenalkan kepada hadirin: “Inilah adalah anak muridku yang khas, yaitu Syaikh Ali dari Indonesia.” Kemudian saya utarakan maksud saya menemui beliau, yaitu untuk meminta ijazah. Beliau mengatakan nanti saja di Madinah. Saya bilang, Madinah jauhnya 500 km. Beliau malah bilang: saya lebih tahu dari ente. Ya sudah saya berangkat ke Madinah. 
Tahli di hari ketujuh.

       Sehari kemudian dua orang anak muda menemui saya, dan berpesan bahwa saya telah ditunggu Sayyid Hasan di Hotel Baha’uddin. Ternyata di sana, Sayyid Hasan sedang mengisi pengajian, dan yang datang para pembesar, termasuk yang punya hotel. Setelah usai pengajian, beliau menemui saya dan memberikan baju kurungnya untuk saya pakai. Anehnya, saya dengan memakai baju kurungnya itu, beliau mengajak saya menuruni tangga hotel, dan kemudian menggandeng saya untuk naik lagi. Lalu baju untuk disuruh lepas dan dipakai oleh Sayyid Hasan lagi. Beliau berkata: “Sudah cukup aku berikan ijazah kepadamu. Sekarang kau boleh mampir di Makkah lagi, atau kalau tidak bisa, langsung pulang, dan kirim salam kepada Syaikh Ali.
      Ketika saya pulang ke Jatibarang, kemudian saya ceritakan bahwa saya telah mendapatkan dua ijazah dari dua guru beliau, Abah menangis terisak-isak seperti menangisnya anak kecil. Hal itu menandakan begitu gembiranya beliau karena saya bisa memperoleh ijazah yang disarankannya.
      Waktu itu saya sudah memiliki lima orang anak, dan masih aktif dalam bisnis. Jadi masih sibuk dalam masalah duniawi. Namun Abah sudah mengatakan bahwa sudah cukup ilmu saya dengan mendapatkan dua ijazah itu.
      Sekarang saya melanjutkan pengajian Abah pada hari Ahad dengan hadirin sekitar seribu orang. Kebanyakan yang datang justru ibu-ibu, ada sekitar tujuh ratus orang. Sedang lelakinya hanya sekitar 300 orang. Saya tawarkan kepada hadirin, ingin membaca kitab apa? Maka saya persilahkan seorang kiai membaca, dan saya yang memberikan maknanya secara luas. Dulu Kiai Abud membaca Minhajul Abidin karangan Imam Ghazali, kini sudah meninggal dan digantikan oleh kiai lain dari Tegal. Yang kedua, Kiai Ihsanuddin dari Sokaraja mengaji Nashaihul Diniyah karangan Habib Abdullah Alhaddad. Yang ketiga Kiai Anshari membaca kitab Tanqihul Qaul. Yang keempat Kiai Fat’uddin dari PP Babagan Slawi membaca kitab Tanbihul Ghafilin. Kelima Kiai Ma’ruf dari Sinduyasa Tegal membaca kitab Fathul Qarib Al-Mujid. Keenam Ki Poyo dari Slawi membaca kitab Dhuratul Bahiyah. Maka kalau semua datang, maka dua jam (pukul 10.00-12.00) saya bagi enam.
      Sekarang, anak saya (Ustadz) Ahmad Anis mengajar kitab Khasyifatus Saja’, kitab fikih dasar, selama setengah jam. Dulu anak saya, (Syaikh) Sholeh, mengisi separuh dan saya separuh. Karena Sholeh sudah sibuk dengan pesantren dan ta’limnya sendiri, maka kembali ke saya lagi. Untungnya anak saya Ahmad Anis sudah bisa menggantikannya. Kemudian ada pengajian Kamis Kliwon di lapangan Jatibarang, khusus untuk membacakan biografi para nabi, auliya, dan ulama. Acara setiap pukul 10.00 sampai 12.00. Sedang pengajian keliling diselenggarakan setiap Senin Pon, sehingga berbagai desa mendapat giliran. Hadirin bisa mencapai 10 ribu orang. Satu tempat tersebut perlu memesan dulu dua hingga tiga tahun sebelumnya. Pengajian ini sudah berlangsung 20 tahun, setiap pengajian terkumpul dana shodaqah sekitar Rp 4 juta. Pengajian ini sekarang lebih banyak diisi oleh Ustadz Sholeh, sebab saya kadang-kadang tidak enak badan.
Dihadiri Sidi Muhammad Al-Habib Al-Zakkani.

      Tarekat Tijaniyah
      Syaikh Muhammad Basalamah, sebelum meninggal, dikenal sebagai Muqaddam Tarekat Tijaniyah yang paling tua di Indonesia. Kisahnya masuk Tarekat Tijaniyah bermula ketika Abahnya meninggal, empat hari kemudian, dia didatangi oleh KH Hawi dari Pesantren Buntet Cirebon. Singkatnya, dia ditalqin menjadi muqaddam tarekat Tijaniyah. Mengapa dia begitu mantap untuk menjadi pengikuti tarekat Tijaniyah, karena hal ini pernah dia pertanyakan kepada Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki. Sayyid menjawab bahwa tarekat ini baik, dan dia mengakui merupakan salah satu muqaddamnya. Karena itulah, Syaikh Muhamamd tidak ragu lagi untuk menjadi muqaddamnya.
      Syaikh Muhammad memiliki hak untuk menunjuk muqaddam. Namun menurutnya, untuk menunjuk muqaddam perlu adanya panggilan hati. “Sampai saat ini hanya Sholeh, anak saya, yang mantap saya tunjuk sebagai muqaddam. Selainnya belum ada petunjuk,” katanya. Namun ternyata, dia juga menalqin Ustadz Anis sebagai muqaddam Tijaniyah, sehingga berhak memberikan pengajian tarekat pada hari Kamis Kliwon di rumahnya.
      Di kalangan tarekat Tijaniyah di Indonesia, rumahnya sering menjadi tempat persinggahan para pemuka tarekat Tijaniyah yang berpusat di Maroko. Sebagaimana kedatangan Sayyid Jamal, dan kemudian kunjungan Syarif Muhammad Basyir bin Allal At-Tijani Al-Hasani keturunan keenam Syaikh Tijani pada tahun 2006 lalu. Beberapa tokoh Tijaniyah Indonesia sering berkumpul di Jatibarang untuk membahas perkembangan  tarekat ini di masa akan datang.
      Saiful Bahri

Biografi Imam Syafi’i, Sang Pendiri Madzhab Syafi’i

Profil Singkat Imam Syafi’i

Nama lengkap beliau ; Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Muttalibi Al-Qurashi
Gelar kehormatan ; Imam Quraish, Nashirul Hadits, Al-Imam Al-Mujaddid, Alimul Ashr, dan Faqihul Millah
Tempat lahir beliau ; Gaza, Palestina.
Tanggal lahir beliau ; tahun 767 M / 150 H.
Beliau Wafat ; Pada akhir malam Rajab tahun 820 M / 204 H.
Tempat wafat beliau ; Kota Kairo, Mesir.
Paham/ Aliran Islam beliau ; Ahlussunnah Wal Jamaah
Ayah beliau ; Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muttalib bin Abdu Manaf.
Ibu beliau ; Fatimah binti Abdullah Al-Uzdiyah.
Putra beliau ; Abu Utsman dan Abul Hasan
Putri beliau ; Fatimah dan Zainab

Nasab dari pihak ayah beliau (Imam Syafi’i).

Nama ayah beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi` bin Sa`ib bin Abid bin Abu Yazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdu Manaf bin Qusayyi bin Kilab bin Murrah, dan nasab beliau (Imam Syafi’i) bertemu dengan Baginda Rasulullah SAW. yakni pada Abdu Manaf bin Qusayyi.

Nasab dari pihak Ibu Imam Syafi’i.

Ibnunya bernama Fatimah binti Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Banyak orang yang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui Hasyimiyah melahirkan keturunan terkecuali itu adalah Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafi`i.

Kelahiran Beliau (Imam Syafi`i).

Imam Syafi’i dilahirkan bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah yakni pada tahun 150 H. Beliau dilahirkan di desa Ghazzah, Asqalan. Pada waktu usia beliau mencapai 2 tahun, ibunya tersebut mengajak untuk pindah ke Hijaz dimana sebagian besar dari penduduknya itu berasal dari Yaman, ibu Imam Syafi’i sendiri berasal dari suku Azdiyah. Kemudian keduanya itu menetap di sana. Namun, pada saat usia beliau sudah mencapai 10 tahun, ibu beliau kemudian mengajak pindah menuju kota Makkah, karena ibunya khawatir akan melupakan nasabnya tersebut.

Pendidikan dari Imam Syafi`i.

sejak kecil Imam Syafi`i hidup didalam kemiskinan, pada saat beliau diserahkan (masuk) ke bangku pendidikan, para pendidik (guru) tidak memperoleh gaji (upah) serta mereka para guru tersebut hanya terbatas pada pengajaran saja. Namun, setiap kali guru tersebut mengajarkan ilmunya pada para murid, terlihat jelas Imam Syafi`i yang masih kecil dengan ketajaman akal dan pikiran yang dimiliki beliau, yang mampu menangkap seluruh perkataan/ ucapan yang dilontarkan serta berbagai penjelasan dari gurunya.
Setiap kali gurunya tersebut berdiri untuk pulang (meninggalkan tempatnya), maka Imam Syafi`i si kecil itu mengajarkan kembali apa yang telah dia dengar serta dia pahami kepada seluruh murid-murid yang lain, sehingga apa yang telah dilakukan oleh Imam Syafi`i tersebut acap kali mendapatkan upah dari para temen-temennya (murid-murid yang lain). Ketika usia beliau menginjak ke 7 tahun, ternyata Imam Syafi`i sudah berhasil menghafal al-Qur`an dengan sangat baik.
Beliau (Imam Syafi`i) mengisahkan bahwa ; {” Saat kami lagi menghatamkan (menghafalkan) ayat Al-Qur`an serta memasuki masjid, kami duduk langsung di majlis para ulama. Kami berhasil menghafalkan beberapa hadits serta beberapa masalah Fiqih. Ketika itu, rumah kami berada di Makkah. Serta Kondisi kehidupan kami sangatlah miskin, dimana kami tidak mempunyai uang yang hanya untuk membeli sebuah kertas, Namun kami mengambil (mengumpulkan) tulang-tulang sehingga kami bisa gunakan untuk menulis “}
Ketika beliau menginjak usia yang ke 13 tahun, beliau juga sering memperdengarkan bacaan ayat-ayat Al-Qur`an kepada umat Muslim yang lagi berada di Masjid Al-Haram itu, beliau mempunyai suara yang sangat merdu. Pada suatu ketika Imam Hakim menceritakan perihal hadits dari riwayat Bahr bin Nashr, bahwa ia berkata ; {” Jika kami berkeinginan untuk menangis, maka kami pun mengucapkan (menyuruh) kepada teman kami “Pergilah kalian kepada Imam Syafi`i !” jika kami telah sampai dihadapannya (Imam Syafi’i), beliau memulai membuka serta membaca ayat-ayat suci Al-Qur`an sehingga para manusia yang ada di sekitarnya akan banyak yang berjatuhan di hadapan beliau lantaran saking kerasnya mereka menangis. (sungguh) Kami terkagum-kagum dengan suatu keindahan dan kemerduan suara Imam Syafi’i, sedemikian tinggi beliau tersebut memahami dan mengkaji Al-Qur`an sehingga akan sangat berkesan bagi siapa saja para pendengarnya “}

Keistimewaan dari Imam Syafi`i.

1. Keluasan ilmu pengetahuan yang dimiliki beliau didalam bidang sastra serta nasab, yang sejajar dengan Al-Hakam bin Abdul Muthalib, dimana Baginda Rasulullah SAW. telah bersabda ; {” Sesungguhnya Keturunan dari (Bani) Hasyim serta keturunan dari (Bani) Muthalib itu (pada) hakekatnya ialah satu “} (HR. Ibnu Majah)
2. Kekuatan Imam Syafi’i didalam menghafalkan Al-Qur`an serta kedalaman pemahamannya yakni antara yang wajib dan sunnah, serta perihal kecerdasannya terhadap seluruh disiplin ilmu yang beliau miliki, yang tidak seluruh manusia bisa melakukannya.
3. Kedalaman ilmu mengenai Sunnah, beliau bisa membedakan antara yang Sunnah, yang shahih dan yang dha`if. Dan ketinggian dari ilmunya Imam Syafi’i dalam bidang ushul fiqih, maushul, mursal, serta juga perbedaan antara lafadl yang khusus dan yang umum.
4. Imam Ahmad bin Hambal yang berkata bahwa ; Para ahli hadits yang dipakai oleh Imam Abu Hanifah tersebut tidak diperdebatkan sehingga kami pun bertemu dengan beliau (Imam Syafi`i). Kemudian beliau adalah manusia yang paling memahami kitab-kitab Allah SWT. beserta Sunnah baginda Rasulullah SAW. dan juga sangatlah peduli terhadap hadits beliau.
5. Karabisy 2 (Karabisy dinisbatkan pada profesi dari penjual pakaian, yang bernama ‘Husain bin Ali bin Yazid’.) yang mengucapkan bahwasanya ; Imam Syafi`i merupakan rahmat bagi seluruh umat Nabi Muhammad SAW.
6. Abu Dubais bin Ali al-Qashbani juga berkata bahwa ; Kami pernah bersama Ahmad bin Hambal di sebuah Masjid Jami` yang berada di kota Baghdad, dimana Masjid Jami’ tersebut dibangun oleh Al-Manshur, Yang selanjutnya kami pun datang untuk menemui Karabisy, lalu kemudian kami pun bertanya ; Bagaimana menurutmu mengenai Imam Syafi`i itu ? kemudian dia pun menjawab ; Sebagaimana apa yang telah kami ucapkan bahwasanya beliau memulai dengan Kitab suci (Al-Qur`an), Sunnah, dan juga ijma` dari para alim ulama`. Kami adalah orang-orang yang terdahulu sebelum beliau (Imam Syafi’i) tidak mengetahui apa itu Al-Qur`an serta Sunnahnya, sehingga (pada sekarang) kami mendengar dari Imam Syafii mengenai apa itu Al-Qur`an, dan Sunnah serta ijma`. Humaidi berkata juga bahwa ; Pada suatu ketika kami berkeinginan mengadakan suatu perdebatan dengan para kelompok rasionalis dan kami tidak mengetahuinya (bagaimana cara mengalahkannya). Lalu kemudian Imam Syafi`i tersebut datang kepada kami, sehingga kami pun bisa memenangkan tentang perdebatan tersebut. Imam Ahmad bin Hambal juga berkata bawha ; Kami (sama sekali) tidak pernah melihat seseorang yang lebih cerdas dan pandapai dalam bidang faqih (fiqih) terhadap Al-Qur`an daripada pemuda quraisy ini (Muhammad bin Idris al-Syafi`i/ Imam Syafi’i).
7. Ibnu Rahawaih pernah ditanya ; Menurut pendapatmu, bagaimana mengenai Imam Syafii yang bisa menguasai Al-Qur`an dalam usianya yang masih sangat relatif muda ? Kemudian dia menjawab bahwa : Allah SWT. telah mempercepat akal dan pikirannya karena usianya yang pendek.
8. Rabi` mengatakan ; Kami pernah duduk bersama beliau di Majelisnya tersebut setelah itu beliau meninggal dunia di Basir, secara tiba-tiba datanglah kepada kami oarang-orang A`rabi (badui) tersebut. dan Dia mengucapkan salam, kemudian dia bertanya: Dimanakah matahri dan bulan majleis ini (Imam Syafi’i) ? kemudian kami pun mejawab: Dia (Imam Syafi’i) telah wafat. Kemudian serontak dia pun menangis, lalu berdoa ; Semoga Allah SWT. memncurahkan rahmat dan ampunan bagi seluruh dosanya. Sungguh beliau (Imam Syafi’i) telah membuka hujjahnya yang selama ini sangat tertutup, telah merubah wajah dari orang-orang yang telah ingkar serta juga telah membuka kedok mereka, dan pula telah membuka bagi pintu kebodohan disertai penjelasannya, tidak beberapa lama kemudian orang badui tersebut langsung pergi.

Kitab-kitab hasil Karya dari Imam Syafi`i.

1. Al-Risalah al-Qadimah (kitab al-Hujjah)
2. Al-Risalah al-Jadidah.
3. Ikhtilaf al-Hadits.
4. Ibthal al-Istihsan.
5. Ahkam al-Qur`an.
6. Bayadh al-Fardh.
7. Sifat al-Amr wa al-Nahyi.
8. Ikhtilaf al-Malik wa al-Syafi`i.
9. Ikhtilaf al- Iraqiyin.
10. Ikhtilaf Muhammad bin Husain.
11. Fadha`il al-Quraisy
12. Kitab al-Umm
13. Kitab al-Sunan

Wafatnya beliau (Imam Syafi`i).

Beliau (Imam Syafi`i) menderita penyakit ambeien di akhir hidupnya, sehingga berakibat beliau wafat di negara Mesir pada malam Jum`at yakni sesudah shalat Maghrib, di hari terakhir pada bulan Rajab. Beliau pun di makamkan di Hari Jum`at yaitu pada tahun 204 H. yang bertepatan pada tahun 819/820 M. makamnya beliau (Imam Syafi’i) berada di kota Kairo, Mesir, di dekat sebuah masjid Yazar, sebuah masjid yang berada didalam lingkungan perumahan bernama Imam Syafi`i.
Semoga kita mendapatkan dan memetik manfaat dibalik kisah Imam Syafi’i ini, Amin !

Syekh Ahmad al-Tijani

Syekh Ahmad al-Tijani, dilahirkan pada tahun 1150 H. (1737 M.) di `Ain Madi, sebuah desa di Al-Jazair.
Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah saw. lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw. Beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal tahun 1230 H., dan dimakamkan di kota Fez Maroko.
Biografi Syekh Ahmad al-Tijani
• Fase menuntut Ilmu
Sejak umur tujuh tahun Syekh Ahmad al-Tijani telah hafal al-Qur’an dan sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai cabang ilmu seperti ilmu Usul, Fiqh, dan sastra. Dikatakan, sejak usia remaja, Syekh Ahmad al-Tijani telah menguasai dengan mahir berbagai cabang ilmu agama Islam, sehingga pada usia dibawah 20 tahun beliau telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama.
• Fase Menuntut Ilmu Tasawuf
Pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1171 H. Syekh Ahmad al-Tijani pindah ke kota Fez Maroko. untuk memperdalam ilmu tasawuf. Selama di Fez beliau menekuni ilmu tasawuf melalui kitab Futuhat al-Makiyyah, di bawah bimbingan al-Tayyib Ibn Muhammad al-Yamhalidan Muhammad Ibn al-Hasan al-Wanjali. Al-Wanjali mengatakan kepada Syekh Ahmad al-Tijani : اَنَّكَ تُدْرِكَ مَقَامَ الشَّاذِلِى “Engkau akan mencapai maqam kewalian sebagaimana maqam al-Syazili”” . Selanjutnya beliau menjumpai Syekh Abdullah Ibn Arabi al-Andusia, dan kepadanya dikatakan : “الله ُ يَأخُذُ بِـيَدِكَ. (Allah yang membimbingmu); “Kata-kata ini di ulang sampai tiga kali”. Kemudian beliau berguru kepada Syekh Ahmad al-Tawwasi, dan mendapat bimbingan untuk persiapan masa lanjut. Ia menyarankan kepada Syekh Ahmad al-Tijani untuk berkhalwat (menyendiri) dan berzikir (zikr) sampai Allah memberi keterbukaan (futuh). Kemudian ia mengatakan : “Engkau akan memperoleh kedudukan yang agung (maqam ‘azim)”.
• Fase Pengidentifikasian Diri
Ketika Syekh Ahmad al-Tijani memasuki usia 31 tahun, beliau mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah swt., melalui amalan beberapa thariqat. Thariqat pertama yang beliau amalkan adalah thariqat Qadiriyah, kemudian pindah mengamalkan thariqat Nasiriyah yang diambil dari Abi Abdillah Muhammad Ibn Abdillah, selanjutnya mengamalkan thariqat Ahmad al-Habib Ibn Muhammaddan kemudian mengamalkan thariqat Tawwasiyah. Setelah beliau mengamalkan beberapa thariqat tadi, kemudian beliau pindah ke Zawiyah (pesantren sufi) Syekh Abd al-Qadir Ibn Muhammad al-Abyadh.
Pada tahun 1186 H. Beliau berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika beliau tiba di Aljazair, beliau menjumpai Sayyid Ahmad Ibn Abd al-Rahman al-Azhari seorang tokoh thariqat Khalwatiah, dan beliau mendalami ajaran thariqat ini. Kemudian beliau berangkat ke Tunise dan menjumpai seorang Wali bernama Syekh Abd al-Samad al-Rahawi. Di kota ini beliau belajar thariqat sambil mengajar tasawuf. Diantara buku yang diajarkannya adalah kitab al-Hikam. Kemudian beliau pergi ke Mesir. Di negeri ini beliau menjumpai seorang sufi yang sangat terkenal pada waktu itu yakni Syekh Mahmud al-Kurdi, ia seorang tokoh thariqat khalwatiyah. Dari tokoh ini Syekh Ahmad al-Tijani menyempurnakan ajaran thariqat Kholwatiyahnya. Dalam perjumpaan pertama dengan Syekh Mahmud al-Kurdi, kepada Syekh ahmad al-Tijani dikatakan: (أنت محبوب عندالله في الدنيا والاخرة ) Engkau kekasih Allah di dunia dan di akherat” lalu ia Al-Tijani bertanya (من اين لك هدا ) “Dari mana pengetahuan ini ?” Jawab Al-Kurdi ( من الله ) “Dari Allah”.
Setelah beberapa hari Syekh Mahmud al-Kurdy bertanya kepada Syekh Ahmad : “(مامطلبك ؟) Apa cita-citamu ?” Jawab Syekh Ahmad Al-Tijani (مطلبي القطبانـية لعظمى) “Cita-cita saya menduduki maqam al-Qutbaniyah al-‘Udzma”. Jawab al-Kurdi (لك اكثرمنها ) “Bagimu lebih dari itu” Berkata Syekh Ahmad Al-Tijani (عليك) “Engkau yang menanggungnya ?” Jawab al-Kurdi (نعم) “Ya”. Pada bulan Syawwal tahun 1187 H. Sampailah beliau ke Makkah pada waktu itu di Makkah ada seorang wali bernama Syekh al-Imam Abi al-Abbas Sayyid Muhammad Ibn Abdillah al-Hindi. Sewaktu Syekh Ahmad al-Tijani berkunjung kepadanya, ia mengungkapkan kepada Syekh Ahmad al-Tijani melalui surat lewat khadamnya yang berbunyi :
أنت وارث علمي واسرارى وموا هبي وانوارى Artinya : “Engkau pewaris ilmuku, rahasia-rahasiaku, karunia-karuniaku dan cahaya-cahayaku”
Selesai melaksanakan ibadah haji, Syekh Ahmad al-Tijani terus berziarah ke makam Rasulullah saw., di Madinah. Di kota ini beliau menjumpai seorang wali Quthb Syekh Muhammad Ibn Abd al-Karim al-Saman. Dalam salah satu pertemuannya, dikatakan bahwa Syekh Ahmad al-Tijani akan mencapai maqam kewalian al-Quthb’ al-Jami’. Pertemuan Syekh Ahmad al-Tijani dengan para wali sebagaimana disebutkan di atas, menunjukan hampir semua wali yang dikunjunginya melihat dan meyakini bahwa Syekh Ahmad al-Tijani akan mencapai maqam kewalian yang tinggi lebih dari apa yang dicita-citakannya.
Pada tahun 1196 H., tepatnya ketika Syekh Ahmad al-Tijani berusia 46 tahun, beliau pergi ke pedalaman Aljazair, yaitu Abu Samghun, yang terletak di padang Sahara. Disitu beliau melakukan khalwat (kehidupan menyendiri). Di tempat inilah beliau mengalami pembukaan besar (al-Fath al-Akbar), beliau bertemu dengan Rasulullah saw., dalam keadaan jaga (yaqzhah). Selanjutnya Syekh Ahmad al-Tijani ditalqin (dibimbing) istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali, selanjutnya Rasulullah saw. bersabda kepada Syekh Ahmad Al-Tijani :
لامنة لمخلوق عليك من مشايخ الطريق فانا واسطتك وممدك على التخقيق. فاترك عنك جميع ما احذت من جميع الطريق. الزم هذه الطريقة من غير خلوة ولااعتزال عن الخلق حتى تصل مقامك الذى وعدت به وانت على حالك من غير ضيق ولاحرج ولاكثرة مجاهدة واترك عنك جميع الاولياء.
Artinya : “Tak ada karunia bagi seorang makhlukpun dari guru-guru thariqat atas kamu. Maka akulah wasithah (perantaramu) dan pemberi dan atau pembimbingmu dengan sebenar-benarnya (oleh karena itu), tinggalkanlah apa yang kamu telah ambil dari semua thariqat. Tekunilah thariqat ini tanpa khalwat dan tidak menjauh dari manusia sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikannya padamu, dan kamu tetap di atas perihalmu ini tanpa kesempitan, tanpa susah-susah dan tidak banyak berpayah-payah, dan tinggalkanlah semua para Wali.”
Dua macam wirid sebagaiman telah disebutkan di atas, yaitu : Istighfar 100 kali dan Shalawat 100 kali berjalan selama 4 tahun dan pada tahun 1200 H., wirid itu disempurnakan Rasulullah saw., dengan ditambah Hailallah (la Ilaha Illa Allah) 100 kali. Pada bulan Muharram tahun 1214 H. Syekh Ahmad al-Tijani mencapai maqam kewalian yang pernah dicita-citakannya yakni maqam al-Quthbaniyyat al-‘Udhma. Dan pada tanggal 18 Safar pada tahun yang sama Syekh Ahmad al-Tijani mendapat karunia dari Allah swt., memperoleh maqam tertinggi kewalian ummat Nabi Muhammad yakni maqam al-Khatm wal-Katm atau al-Qutb al-Maktum dan Khatm al-Muhammadiyy al-Ma’lum.
Dan setiap tanggal dan bulan tersebut murid-murid Syekh Ahmad al-Tijani, di Indonesia misalnya mensyukuri melalui peringatan ‘Idul Khatmi Lil Qutbil Maktum Syekh Ahmad al-Tijani Ra. Seperti halnya kita berkumpul disini.
• Fase Pengembangan Dakwah
Di Maroko, Syekh Ahmad al-Tijani dan Maulay Sulaiman (penguasa Maroko) bekerjasama dalam memerangi khurafat yang menimbulkan kebodohan, kejumudan, dan kemalasan, sampai beliau dilantik sebagai anggota “Dewan Ulama”.
Dalam keadaan masyarakat yang demikian rusak baik secara moral maupun akidah Syekh Ahmad al-Tijani menyatakan bahwa : “Pada umumnya masyarakat pada waktu itu melakukan ziarah kepada wali-wali Allah hanyalah untuk tujuan yang rusak (agrad fasidat) yakni hanya untuk mengharapkan kesenangan dan syahwat duniawi.” Dalam posisi inilah Syekh Ahmad al-Tijani menetapkan batasan yang sangat ketat kepada murid-muridnya dalam melakukan ziarah kepada wali-wali Allah swt., hal ini dimaksudkan untuk memelihara kemurnian akidah dan kelurusan ibadah.
Upaya Syekh Ahmad al-Tijani dalam melakukan dakwah-dakwah Islam, selain melaksanakan kerjasama dengan Maulay Sulaiman, beliau juga aktif memimpin Zawiyah di kota Fez Maroko, sampai wafatnya pada Hari Kamis tanggal 17 bulan Syawwal tahun 1230 H. Di Kota ini beliau sering dikunjungi orang-orang dari seluruh Maroko ataupun negara-negara tetangganya, dan membina orang yang berminat mendalami ajarannya, sampai melantiknya sebagai pemuka Thariqat Tijaniyah (muqaddam) di daerah masing-masing. Sampai saat menjelang wafatnya Syekh Ahmad al-Tijani tidak pernah lalai dalam melaksanakan tugas dakwahnya, beliau selalu aktif memberi petunjuk dan bimbingan kepada ummat Islam, terutama dalam membina dan mengarahkan murid beliau melalui Zawiyah yang beliau dirikan maupun melalui surat-surat yang beliau kirim keberbagai lapisan masyarakat (fukoro, masakin, agniya, pedagang, fuqaha dan umaro).
Berikut sebagian kutipan surat dakwah syekh Ahmad al-Tijani:
“Saya berwasiat pada sendiri dan kalian semua dengan perkara yang telah diwasiatkan dan diperintahkan oleh Allah swt. Yaitu menjaga batas-batas agama, melaksanakan perintah ilahiyah dengan segenap kemampuan dan kekuatan.
Sesungguhnya pada jaman sekarang, sendi-sendi pokok agama ilahi telah rapuh dan ambruk. Baik secara langsung dan global ataupun secara perlahan-lahan dan rinci. Manusia lebih banyak tenggelam dalam urusan yang mengkhawatirkan, secara ukhrawi dan duniawinya. Mereka tersesat tidak kembali dan tertidur pulas tidak terjaga. Hal ini dikarenakan berbagai persoalan yang telah memalingkan hati dari Allah swt., dan aturan-aturan (perintah dan larangannya). Pada masa dan waktu kini sudah tidak ada seorangpun yang peduli untuk mejalankan dan memenuhi perintah-perintah Allah dan persoalan-persoalan agama yang lainnya. Kecuali orang yang benar-benar ma’rifat kepada-Nya paling tidak orang yang mendekati sifat tersebut.
Wasiat ini dilatarbelakangi atas keprihatinan terhadap kemunduran ummat Islam, baik secara akidah maupun ibadah. Sikap ini menunjukan kepedulian Syekh Ahmad al-Tijani sebagai shahibut thariqah terhadap problematika ummat Islam.
Pada bagian lain dikatakan : Hendaklah kamu sekalian berusaha membiasakan bersedekah setiap hari jika mampu. Meskipun sekedar uang recehan ataupun sesuap makanan, disamping tetap menjaga pelaksaan perkara-perkara fardu yang di wajibkan dalam harta benda, seperti zakat. Sesungguhnya pertolongan Allah swt., lebih dekat kepada mereka yang selalu mengerjakan dan menjaga kewajiban-kewajiban yang bersifat umum/kemasyarakatan.
Pada bagian lain Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan :
“Hendaknya kamu sekalian selalu menjaga silaturahim/menyambung tali persaudaraan dengan norma-norma yang dapat membuat hati menjadi lapang dan menimbulkan rasa kasih sayang. Meskipun hanya menyediakan waktu luang dan memberikan salam. Jauhilah sebab-sebab yang menjadikan kebencian dan permusuhan di antara sanak saudara, atau perpecahan orang tua dan segala hal yang menyulut api dendam dalam relung hati sanak saudara”.
“Hendaklah menjauhi segala pembicaraan yang mengorek aib dan kekurangan sesama muslim. Mereka yang gemar melakukan itu, Allah swt., akan membuka aib/cacat kekurangannya dan mengoyak kekurangan-kekurangan generasi setelahnya”. Wasiat ini menegaskan pentingnya membangun kepedulian sosial dan membangun keutuhan masyarakat, bangsa dan negara. Pada dasarnya, Syekh Ahmad al-Tijani tidak menginginkan seorang sufi yang hanya memusatkan perhatiannya pada kontemplasi dan zikir, dan mengabaikan masalah kemasyarakatan. Sufi, sebagaimana ditegaskan dalam pengamalan thariqat tijaniyah, harus senantiasa aktif berjuang bersama masyarakat.
Demikianlah sekilas peran dakwah Syekh Ahmad al-Tijani. Lewat ajarannya, dapat dilihat bagaimana beliau memandang penting arti tampilnya seorang sufi/wali di tengah masyarakat, hal ini merupakan bentuk lain dari ketaatannya pada Allah dan Rasul-Nya. Pada masa modern ini, murid tarikat tijaniyah terus aktif melakukan dakwah Islam, di berbagai kawasan Afrika dan mereka mendirikan Zawiyah (Pesantren Sufi). Sampai sekarang mereka aktif mengembangkan dakwah Islam di Amerika, Perancis, dan Cina.
Pada tahun 1987 , Syekh Idris al-‘Iraqi, (muqaddam zawiyah thariqat tijaniyah Fez, Maroko) berkunjung ke Indonesia, menurut pengakuannya sampai saat ini di Perancis, terdapat puluhan zawiyah (pesantren sufi) thariqat tijaniyah.
Pada tahun 1985/1406 H., di Kota Fez, Maroko diselenggarakan muktamar thariqat tijaniyah dan dihadiri utusan dari 18 negara, seperti : Kerajaan Maroko, Pakistan, Tunisia, Mali, Mesir, Mauritania, Nigeria, Gana, Gambia, Gina, Pantai Gading, Sudan Senegal, Cina, Amerika Serikat, Perancis dan Indonesia. Utusan dari Indonesia adalah KH. Umar Baidhowi dan KH. Badri Masduqi. Pada pembukaan muktamar tersebut, Raja Hasan II (Raja Maroko) berkenan memberikan sambutan.
Gambaran di atas menunjukan efektifitas metoda tarikat dalam pengembangan dakwah Islam.
Demikianlah sekilas riwayat hidup Syekh Ahmad al-Tijani, semoga bermanfaat.