Jumat, 22 Desember 2017

Sayyidatuna Umi Khadijah r.a.

Khadijah r.a.

Di tengah kaum yang sangat patriarkis, dan meremehkan perempuan, tentu luar biasa jika ada perempuan yang disegani dan dihormati para pria yang paling kaya dan berpengaruh sekalipun. Tetapi perempuan itu ada. Ia meneruskan bisnis perdagangan ayahnya yang merentang ke lebih dari tiga negara. Komoditas yang dipedagangkannya lebih besar ketimbang komoditas pesaingnya yang kebanyakan perusahaannya dijalankan oleh pria. Popularitas, kekayaan, dan integritasnya tak tertandingi sehingga bahkan pria-pria kaya dan berkuasa berlomba memikat hatinya. Tetapi ia sudah pernah menikah dan bercerai, dan ia tahu benar watak pria yang mendekatinya. Begitu banyak lamaran, dan semuanya dia tolak. Ia tak butuh harta dan kekuasaan — ia punya itu semua; lagipula ia adalah perempuan mandiri sejak muda.

Hingga akhirnya, ia jatuh hati pada seorang pemuda yang miskin. Jika lazimnya pria yang melamar, kali ini perempuan itulah yang mengajukan lamaran. Pemuda itu bernama Muhammad yang bergelar al-amin. Kedengarannya seperti dongeng, namun nama perempuan itu tercatat dalam sejarah, walau lebih sering diingat secara samar dari waktu ke waktu. Dia hidup 1400-an tahun yang lalu — Khadijah Binti Khuwaylid, yang dipuji kaumnya dengan gelar Ameerat al-Quraysh al-Tahira (putri kaum Quraysh yang suci)

Sesudah menjadi istri Muhammad ibn Abdullah, kesetiaannya dan kepatuhannya begitu mendalam tanpa dia harus merendahkan harkat dan martabatnya sendiri — sebab sang suami adalah pria lembut lagi penyayang.

Khadijah, nama yang menggetarkan bagi yang membaca perjuangan dan pengorbanannya mendampingi sang suami. Ketika Muhammad gemetar dan gugup pasca menerima wahyu pertama dan resmi menjadi Rasulullah, Khadijahlah yang memeluknya dan orang pertama yang mempercayainya. Khadijahlah yang menguatkan hati suaminya, mendermakan kekayaannya kepada fakir-miskin dan yatim piatu. Ketika teror mulai berdatangan, Khadijahlah yang melindunginya dengan pengaruhnya. Ketika Bani Hasyim diboikot sehingga terusir dari kota Mekah, Khadijahlah yang menjadi ibu kaum mukminin. Selama tiga tahun dalam pemboikotan di gurun yang gersang, Khadijah setiap hari merawat pengikut yang sakit. Ia bahkan seolah tak memikirkan kesehatannya sendiri sehingga kebugarannya turun drastis; pasca pemboikotan, Khadijah sering sakit, hingga akhirnya meninggal dunia.

Hampir seperempat abad ia mendampingi Rasulullah, dan Muhammad tak pernah menduakannya dan melupakannya, cintanya tak aus oleh arus waktu, hingga bahkan membuat Aisyah cemburu walau Khadijah sudah tiada. Nabi pernah berkata, di dunia ini ada empat perempuan paling mulia: Maryam binti Imran, Asiya binti Muzahin (istri Firaun), Khadijah binti Khuwaylid, dan Fatima binti Muhammad (putri bungsu Rasulullah dan Khadijah).

Cinta Muhammad Salallahu alaihi wassalam kepada Sayyidatuna Khadijah radhiyallahu anha, adalah seperti yang digambarkan dalam sajak Maulana Rumi :

ketahuilah, kekasihku tersembunyi dari siapapun
ketahuilah, kasihnya melampaui semua kasih yang pernah ada

ketahuilah, di hatiku dia sebening purnama
ketahuilah, dia adalah nyawa dalam tubuh dan jiwaku

dalam cinta yang tak tertampung kata
kau akan temukan cahaya kehidupan.

Senin, 18 Desember 2017

Iqra'

IQRA

Membaca agar tahu bahwa kita lebih banyak tak tahu; agar mengerti bahwa kita sering takut pada hal-hal yang belum kita ketahui yang membuat kita berusaha menyangkal rasa takut  dengan menciptakan prasangka buru untuk melindungi ilusi bahwa kita banyak pengetahuan dan ego kita yang rapuh.

Melalui prasangka buruk kita memproyeksikan kebodohan kita ke orang lain, sehingga ego dan hasrat nafsu merasa nyaman; prasangka buruk mengajak kita menyalahkan orang lain dan situasi daripada instropeksi diri dan berusaha mencari pengetahuan baru dan memperbaiki diri.

Membaca membantu menyingkap lapisan-lapisan kesadaran yang tertimbun di bawah egoisme yang selalu menuntut untuk dibenarkan.

Membaca membantu kita melihat bahwa ilmu itu menyingkap sekaligus menghijab. Sebab setiap hal yang kita ketahui akan membatasi sudut pandang kita. Dengan membaca kita bisa menemukan sudut pandang lain yang mungkin lebih benar.

Membaca buku membantu kita membaca dan memahami pengalaman hidup kita sendiri dan orang lain tanpa menghakimi. Kesadaran bahwa kita lebih banyak tak tahu dapat mendorong kita untuk mengambil hikmah dan pelajaran.

Tuhan memerintahkan "bacalah dengan menyebut (menyertakan) rabb-mu," sebab hanya dengan melek literasi, dengan membaca pengalaman melalui tafakur, dengan ingat bahwa kita hanya tahu sebatas yang diizinkan Tuhan pemilik dan pendidik alam seisinya, maka kita tak mudah terjebak dalam perangkap kedirian iblis yang hanya tahu bahwa "aku selalu lebih baik dari dia."

#Wassalam

Jumat, 15 Desember 2017

Way of life school report cards

Sekarang ini siswa-siswi sedang dimeriahkan dengan penerimaan hasil laporan belajar atau yang sering kita sebut dengan rapor. Luar biasa memang, karena jerih payah selama satu semester dihargai oleh selembar kertas. Asam-garam satu semester telah tumpah menjadi deretan angka yang rasanya bisa berubah menjadi manis maupun pahit. Seperti yang kita ketahui bahwa penidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa rapor menjadi salah satu indikator kesuksesan hasil belajar. Contoh saja, hasil belajar di SD digunakan untuk mendaftar ke SMP favorite, hasil belajar di SMP digunakan untuk mendaftar ke SMA favorite, dan hasil belajar di SMA digunakan untuk mendaftar di Universitas favorite. Namun, apakah kesuksesan dapat diukur dengan sesederhana itu? Jawabannya belum tentu. Karena kesuksesan itu bukanlah sebuah angka melainkan sebuah perjuangan. Ada suatu pernyataan menarik dari guru bahasa jawa saya ketika kami semua sedang terdepresi karena tidak bisa mengerjakan soal tes matematika. Beliau berkata ("Sudahlah, nilai jelek tidak masalah yang penting besok jadi orang sukses semua ya") Mungkin kata-kata itu hanya lewat begitu saja dari mulut beliau. Namun, bagi teman-teman dan saya, kata-kata tersebut menjadi suatu perenungan dan motivasi. Kami sering berpikir apakah semua yang kami pelajari di sekolah saat ini sungguh akan berguna untuk masa depan kami? Seringkali pendidikan di Indonesia hanya menonjolkan teorinya saja. Teori memang penting sebagai dasar para siswa untuk memahami pelajaran. Akan tetapi, seringkali para siswa dan para guru hanya terjebak dalam teori tanpa tahu bagaimana penerapannya dalam praktik atau kehidupan nyata. Sebenarnya, sistem pendidikan yang seperti itu tidak mencerminkan kemampuan siswa yang sebenarnya. Mengapa demikian? karena pendidikan yang hanya berfokus pada teori adalah pendidikan yang membangun tembok penghalang untuk pengembangan pikiran dan kreatifitas siswa. Para siswa cenderung hanya menghafal pelajaran. Tak jarang pula, mereka mengartikan nilai sebagai kesuksesan. Hal seperti membuat siswa menjadi result-oriented. Mereka hanya ingin hasil bagus dan mulai mengasihani diri dengan melegalkan segala cara. Yang perlu digaris bawahi adalah Orang yang bisa mengerjakan soal tes di sekolah, belum tentu mampu menghadapi persoalan di kehidupan nyata. Saya percaya bahwa setiap orang ingin menjadi orang sukses. Namun, perkembangan peradaban manusia telah berhasil membuat para generasi kini merasa takut. Tingkat persaingan yan tinggi telah berhasil menggoyahkan mental para penerus bangsa ini. Seharusnya, nilai tidaklah lagi cukup menjadi bekal bagi para siswa untuk menghadapi musuh yang sudah berada di depan mata. Ada sesuatu yang perlu diubah dari sistem pendidikan ini  karena teori akan menjadi senjata yang tumpul jika tidak diasah. Teori tidak boleh hanya lewat dipikiran para siswa karena sesuatu yang hanya dingat dipikiran akan sangat mudah untuk dilupakan. Sebaliknya, sesuatu yang dialami atau dirasakan akan tinggal dalam pikiran dan jiwa manusia lebih lama. Maka dari itu perlu adanya keseimbangan antara teori dan praktik. Yang terpenting adalah bagaimana ilmu itu bisa meresap kepikiran para siswa untuk bekalnya dimasa depan, bukan hanya untuk sekedar mendapat nilai bagus. Belum lagi pembekalan untuk menemukan potensi para siswa masih sangat kurang. Banyak siswa terlebih siswa-siswi SMA yang masih bingung dan belum punya gambaran tentang masa depannya. Sebenarnya, generasi ini bukanlah generasi yang apatis, melainkan generasi yang terombang-ambing ditengah samudra dan berada dalam arus keras yang tak tentu arahnya. Pembekalan tentang potensi bagi siswa sangatlah penting, sehingga mereka bisa mengembangkan potensi itu dengan semaksimal mungkin. Mereka juga harus dibekali dengan kekuatan yang lebih besar dari pada sebuah nilai, yaitu pengetahuan tentang kehidupan. Dengan demikian, hal itu bisa menjadi kekuatan bagi para siswa untuk menghadapi kehidupan dan mereka bisa berlayar mengarungi samudra luas. Mereka juga akan terhindar dari godaan untuk mengambil cara-cara instan dan menyimpang. Sebenarnya setiap orang memiliki definisinya sendiri tentang arti dari sebuah kesuksesan. Namun, ada satu hal yang perlu di ingat. Hidup dan kesuksesan bukanlah sebuah balapan untuk adu kecepatan, melainkan sebuah petualangan yang harus dinikmati langkah demi langkah.

Wassalam

Rabu, 06 Desember 2017

Tafakur Pendidikan

Ass.wr.wb. Bpk/ibu guru.
Afwan izin berbagi pandangan.

Pada dasarnya pendidikan pertama & guru pertama adalah "Al Baitu Madrasatul Ula" Keluarga & kedua orang tua, Maka kalau kita mau literasi sejarah agama, ada salah satu kegalauan orang tua, seperti kegalauan org tua yang bernama Nabi Yaqub as, Ibrahim as, Ismail as, ketika beliau-beliau akan, melepas ruh dalam jiwa (wafat), satu-satunya yang mengganjal perasaan mereka adalah tentang kalimat "Maa Ta'buduna Mim Ba'di" nak kalau ayah sudah tiada, kamu nyembah apa nak ? Jadi hambanya siapa nak ? Jd hamba Tuhan ? Atau pindah menjadi hamba2 yg lain ?

Maka sering kita lihat fenomena orang tua zaman sekarang mereka lebih khawatir & gelisah/galau tentang kalimat yang terbalik "Maa Ta'kuluna Mim Ba'di" nak kalau ayah tidak ada kamu makan apa nak ? Masih makan nasi atau pindah makan makanan yg lain nak ? Jelas orang tua zaman dahulu lebih mementingkan penanaman agama/budi pekerti, ketimbang mementingkan isi perut anak-anaknya, sebab ada sebagian pepatah ulama menyataka, "jika agama/budi pekerti dipegang erat, Insya Allah urusan perut mengikutinya".

Dari sini kita mulai menemukan secercah titik terang sebagai benang merah fenomena kenakalan siswa/i seperti kita sekarang (tawuran, nga'BM, papalidan, seks bebas, dll) tentang penanaman agama/budi pekerti yang harus dimulai sejak dini. Jangan-jangan ada yang salah dengan pendidikan Keluarga & kedua orang tuanya, jangan-jangan ada yang salah dengan niat dalam menyekolahkan anak-anaknya, dan pada dasarnya kebanyakan orang tua menyekolahkan anaknya ingin pintar, padahal kalau kita kaji pada kalimat "pintar" tersebut banyak sandingan katanya (pintar berbohong, pintar tawuran/pintar berkelahi/pintar merokok/pintar matematika, fisika, ipa, dll) ini yang banyak tidak disadari oleh sebagian orang tua, jikalau niatnya lurus menyekolahkan anaknya ingin "Sholeh" Insya Allah dalam kalimat "Sholeh" terdapat penanaman budi pekerti luhur, baik dimulai dari Sidiq, Tabligh, Amanah, Fathonah, (komplit akhlak-akhlak yang baik) yang akhirnya mampu menjadi Uswatun Hasanah.

Bapak/Ibu guru yang saya hormati, saat pendidikan agama ini ditanam sejak dini, Insya Allah mereka siswa/i akan mengetahui dirinya dari batasan-batasan yang dilarang agamanya, mereka akan Menanamkan penghambaannya sebagai hamba Tuhan "Anna Muslimun Qobla Kulli Syai'in" sebelum melakukan apapun, saya seorang hamba Tuhan (muslim), mereka akan sadar ketika mereka dimanapun, merasakan kehadiran Tuhan dekat dalam hidupnya.

Pendidikan Keluarga seharusnya yang mempunyai peranan utama, dalam teks fenomena kenakalan siswa/i kita, sebab banyak pendidikan keluarga yang bertolak belakang/abai dengan pendidikan sekolah, beberapa contoh, banyak siswa yang dilarang merokok oleh pihak sekolah, akan tetapi di rumah mereka diperbolehkan dll, Begitupun keluarga seharusnya lebih selektif dalam memberikan fasilitas, contoh hal seprti gadget tanpa punya antisipasi dalam pemberian gadget, gadgetpun seharusnya bisa menjadi alat bantu untuk siswa/i dalam belajar, jangan hanya mampu memberikan saja, dari gadget pun banyak disalah gunakan oleh siswa/i kita, kita tidak bisa menyalahkan gadget & internet, karna itu adalah masuk pada perkembangan ilmu sebagai penambah wawasan siswa/i kita dalam belajar, jangan-jangan keluarga hanya mampu memberi fasilitas saja, tanpa mampu mengantisipasinya, seperti halnya melempar boomerang tapi tidak sanggup menangkap lemparannya kembali alias (Gaptek).

Dan banyak dari siswa/i kita yang terlibat Tawuran sebagai contoh dari keluarga yang notabene dari keluarga yang broken home/perceraian orang tua (korban ketidak dewasaan orang tua) padahal perceraian bukan solusi yang baik, solusi yang baik itu nambah istri lagi (jangan terlalu serius) dari hasil percerai itu banyak anak yang salah asuh selain hasilnya menjadi janda bodong & abang toyib, dengan menyalahkan satu sama lain antara keluarga & sekolah. Begitupun banyak yang salah tafsir, orang lebih menghargai selingkuh dari pada poligami (guyon). Hehe

Teringat pepatah sebelum mengakhiri tulisan ini, "The Man Behind the gun" jikalau Pisau dipegang oleh siswa/i kita yang beriman, paling jauh dan ditebas leher ayam, tapi jika pisau dipegang oleh siswa/i kita kurang iman tidak hanya leher ayam yang ditebas, leher temannya sendiri pun bisa digarap, begitupun gadget dipegang oleh siswa/i kita, paling jauh yang dilihat artikel-artikel yang bermnfaat, tapi kalau gadget dipegang oleh siswa/i kita yang kurang iman, tidak hanya artikel saja yang dilihat, video pornopun bisa dilihatnya, begitupun, samurai, cerulit, gir, sebagai alat tawuran dll.

Semoga bermanfaat.
Wassalam.

Asep Jawawi